Komisi IV Susun Amandemen UU Tentang Perkebunan
Dalam perkembangannya, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan mendapat perhatian dari masyarakat, pekebun, dan perusahaan perkebunan. Salah satunya terdapat pasal-pasal yang diajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi.
“Berdasarkan Putusan MK rumusan norma yang terkandung pada Pasal 21 dan Pasal 47 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat,” jelas Wakil Ketua Komisi IV Herman Kheron, saat memimpin RDP dengan Dirjen Perkebunan, Rabu (18/7) di Gedung DPR RI.
Menurut politisi dari Fraksi Partai Demokrat Herman Kheron, perubahan ini merupakan jawaban dari aspirasi pemenuhan kebutuhan hukum di dalam masyarakat akan efektifitas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan dalam menjawab perkembangan dan tantangan di bidang perkebunan.
Adapun isu-isu yang akan menjadi materi perubahan diantaranya adalah mengenai paradigma penanganan konflik sengketa lahan perkebunan; kepemilikan modal asing; kewajiban membangun dan menyiapkan sarana dan prasarana perkebunan; perizinan; hak atas tanah perkebunan; sistem informasi; hak dan kewajiban; sanksi administratif; dan sanksi bagi pejabat.
Komisi IV DPR RI Bidang Pertanian mengharapkan Perubahan atas UU tentang Perkebunan, dapat menjadi aturan di bidang perkebunan yang semakin komprehensif dengan mengatur secara berimbang dan proporsional berbagai pihak di dalam perkebunan, yaitu pemerintah, pelaku usaha, masyarakat, dan pekebun.
Selain itu, perubahan ini juga diharapkan mampu menjawab berbagai perkembangan dan kebutuhan masyarakat agar subsektor perkebunan dapat berkembang dengan maksimal, dengan menambah dan memperbaiki beberapa ketentuan dalam UU No.18 Tahun 2004 tentang Perkebunan.
Patut diketahui, UUNo. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan merupakan landasan hukum bagi pengusahaan Perkebunan. Perkebunan mempunyai peranan penting dan strategis dalam pembangunan nasional, terutama dalam meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat, penerimaan devisa negara, penyediaan lapangan kerja, perolehan nilai tambah dan daya saing, pemenuhan kebutuhan konsumsi dalam negeri, bahan baku industri dalam negeri, serta optimalisasi Sumber Daya Alam secara berkelanjutan.
“Pengusahaan perkebunan dilaksanakan harus sejalan dengan amanat dan jiwa Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yakni bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat,” kata Herman.
Subsektor perkebunan mempunyai peran yang penting dan strategis dalam pembangunan ekonomi Indonesia. Henrman Kheron menjelaskan Subsektor ini mampu berkontribusi besar terhadap penerimaan devisa negara dan penyerapan tenaga kerja. Pada tahun 2011, ekspor subsektor perkebunan Indonesia mencapai lebih dari US$32 miliar atau Rp. 382 triliun yang sebagian besar bersumber dari kelapa sawit (53,56 persen) dan karet (34,56 persen).
Laju pertumbuhan kelapa sawit, karet, dan kakao rata-rata di atas 5 persen per tahun dibandingkan komoditas unggulan lainnya seperti kopi, teh, dan tembakau. Indonesia menjadi negara produsen sawit terbesar di dunia dengan produksi mencapai 19,84 juta ton, dan 50,30 persen pengusahaannya dilakukan oleh swasta.
Di sisi lain, Indonesia juga menjadi negara produsen karet terbesar kedua di dunia dengan produksi mencapai 2,64 juta ton, dan 85 persen pengusahaannya melibatkan perkebunan rakyat. “Tenaga kerja yang terlibat di dalamnya mencapai 2 juta kepala keluarga,” imbuh Herman Khaeron. (as).foto:ry/parle